Sebelum penunjukan Jacksen Tiago menjadi pelatih timnas Indonesia, siapa saja pendahulunya yang berasal dari mancanegara?
Sejarah kepelatihan timnas Indonesia banyak diwarnai dengan nama-nama asing. Dimulai dengan Choo Seng Quee hingga Jacksen Tiago. Semua didatangkan dengan ekspektasi melebihi kualitas lokal karena pelatih asing diharapkan mampu mengangkat performa tim yang sudah ada. Tak jarang pula pelatih yang ditunjuk harus membangun kerja kerasnya dari nol mengingat bekal dasar kemampuan bermain serta strategi pemain tanah air terbilang minim. Tak jarang pula keraguan menyertai kedatangan sang pelatih.
Sepanjang sejarah, PSSI telah menunjuk 17 pelatih asing untuk menangani tim Merah-Putih. Selain berstatus asing, Choo Seng Quee asal Singapura juga merupakan pelatih pertama timnas Indonesia usai era kemerdekaan. Pelatih kawakan yang kerap disapa Paman Choo ini menangani tim Merah-Putih pada 1951 hingga 1953. Tidak cuma itu, Paman Choo barangkali satu-satunya pelatih yang pernah menangani tiga negara serumpun, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura, sepanjang periode kepelatihannya. Pelatih ini dikenal punya kedisiplinan tinggi dan membawa Indonesia ke turnamen internasional pertama, yaitu Asian Games 1951.
Pogacnik memegang rekor sebagai pelatih terlama di timnas
Tongkat kepelatihan Paman Choo beralih ke seorang pria kurus asal Yugoslavia bernama Antun "Toni" Pogacnik. Kedatangan Pogacnik ke Indonesia pada 1954 tak lepas dari campur tangan Pemerintah Indonesia yang menjalin hubungan baik dengan Pemerintah Yugoslavia di bawah pemerintahan Marsekal Josef Broz Tito. Hingga kini nama Pogacnik terus dikenang publik sebagai salah satu pelatih terbaik yang dimiliki Indonesia.
Prestasi Pogacnik bersama Merah-Putih naik turun. Terbaik ketika merebut medali perunggu Asian Games 1958 dan kemudian tersisih di Asian Games 1962 di fase grup meski bermain di Jakarta. Pogacnik pernah menangis ketika para pemain Indonesia ditahan kepolisian akibat terkena skandal suap pada persiapan Asian Games 1962. Pogacnik juga tercatat sebagai pelatih terlama yang pernah menangani timnas Indonesia sampai saat ini. Tercatat sembilan tahun yang dihabiskannya duduk di bangku teknik tim Merah-Putih sampai wafat dan dikebumikan di tanah Indonesia pada 1963.
Pelatih asing berikutnya baru datang berselang 12 tahun berselang. Juru taktik yang datang pun bukan main-main karena berstatus sebagai pelatih top dari Feyenoord Rotterdam, Wiel Coerver. Tugas utama Coerver adalah membawa Indonesia lolos dari kualifikasi Olimpiade Montreal 1976. Hampir saja tugas itu dijawab dengan sempurna ketika Indonesia tinggal melewati Korea Utara pada babak play-off Grup 2. Sayangnya, di depan pendukung yang memadati stadion Senayan, adu penalti menggagalkan ambisi itu.
Pelatih sekaliber Coerver pernah menangani Indonesia
Sukses Coerver meretas jalan bagi kedatangan Frans van Balkom pada 1978 untuk menangani tim Indonesia di SEA Games yang digelar di kandang sendiri setahun berselang. Tugas Van Balkom memperbaiki pencapaian Indonesia yang hanya menempati peringkat empat pada debut SEA Games di 1977. Tapi, pasukan Van Balkom cuma mampu meraih medali perak setelah dikalahkan Malaysia lewat gol Mokhtar Dahari.
Anatoli Polosin disambut dengan keraguan ketika ditunjuk melatih timnas Indonesia pada 1987. Sebelumnya, jasa dua pelatih asing digunakan PSSI tanpa mendatangkan hasil, yaitu Marek Janota dan Bernd Fischer. Belum lagi menyebut nama-nama seperti Joao Barbatana yang menangani tim yunior Indonesia lewat proyek Garuda pada awal 1980-an dan Josef Masopust yang datang dari Cekoslowakia guna melatih para Garuda Muda pada 1988 hingga 1991. Pendekatan Eropa Timur ala Polosin dicibir banyak pengamat jelang SEA Games 1991. Apalagi metode pelatih asal Uni Soviet itu tak juga mendatangkan hasil bagus pada awal periodenya.
Pendekatan latihan fisik yang berat membuat sejumlah pemain andalan tidak turut serta dalam tim SEA Games 1991. Namun, kerja keras Polosin rupanya berbuah emas. Kebugaran stamina pasukan Merah-Putih tak tertandingi meski harus bertanding dua kali 120 menit di semi-final dan final. Singapura dan Thailand berhasil ditundukkan melalui adu penalti sehingga Indonesia sukses merebut emas kedua sepanjang sejarah SEA Games. Sayangnya, hingga kini prestasi itulah yang belum dapat disamai generasi-generasi berikutnya.
Polosin, pelatih sukses terakhir di timnas
Mirip seperti sukses yang ditimbulkan Coerver, sepenghabisan Polosin PSSI menunjuk pelatih asal Eropa Timur lainnya guna menangani timnas, yaitu Ivan Toplak. Pelatih asal Yugoslavia itu punya tugas utama memimpin Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 1994. Kali ini metode Eropa Timur tak berhasil. Indonesia terhenti di babak tersebut dan dengan ditambah kegagalan mempertahankan medali emas di SEA Games 1993, kursi kepelatihan Toplak tak bertahan lama.
Kursi Toplak digantikan Romano Matte, pelatih Italia pertama dan hingga kini satu-satunya yang dimiliki Indonesia. Matte didatangkan setelah terlebih dahulu menangani tim Indonesia yang mengikuti kompetisi Primavera di Italia. Sama seperti para pelatih pendahulunya, misi Matte lagi-lagi memperjuangkan emas SEA Games di 1995. Meski mencetak rekor kemenangan terbesar sepanjang sejarah partisipasi SEA Games, dengan melibas Kamboja 10-0, tetapi Indonesia tak mampu lolos dari Grup A setelah disingkirkan Vietnam.
Perubahan pelatih kembali dilakukan PSSI guna menyongsong SEA Games 1997 yang digelar di Jakarta. Henk Wullems menjadi juru taktik asing berikutnya berkat keberhasilan membawa Bandung Raya secara mengejutkan menjuarai liga Indonesia. Didukung kombinasi pemain antargenerasi, Wullems menyajikan permainan tim yang menyerang dan atraktif. Indonesia masuk final secara meyakinkan, tetapi harus menyerah di kaki Thailand lewat adu penalti.
Wullems menyuguhkan penampilan atraktif di SEA Games 1997
Tugas Bernard Schumm sempat dialihfungsikan dari direktur teknik menjadi pelatih ketika Indonesia mengikuti SEA Games 1999. Periode tugas pelatih asal Jerman ini pun tak bertahan lama seiring kegagalan Indonesia di ajang tersebut. Tiga tahun berselang, PSSI kembali menengok Eropa Timur dengan mendatangkan Ivan Kolev, pelatih yang punya resume menangani timnas yunior Bulgaria.
Kolev mengukir kemenangan mengejutkan ketika Indonesia menumbangkan Qatar 2-1 di Piala Asia 2004. Kekalahan tersebut menyingkirkan Philippe Troussier dari jabatan pelatih Qatar, tetapi ternyata tak juga menjamin stabilitas posisi Kolev. Usai turnamen, tugas Kolev digantikan pelatih yang memiliki catatan sukses lebih baik, yaitu Peter Withe.
Perubahan besar pertama yang dilakukan Withe adalah mengubah kebiasaan bermain tim Indonesia dengan tiga bek tengah menjadi formasi 4-4-2. Withe juga mengeluhkan kemampuan para pemain Indonesia yang tidak memiliki teknik dasar sepakbola yang baik. Butuh waktu menerjemahkan keinginannya sampai akhirnya Indonesia di tangan Withe tampil mencengangkan di Tiger Cup 2004.
Ilham Jayakesuma dan Boaz Solossa menjadi bintang tim saat itu sehingga untuk sejenak publik dapat melupakan figur Bambang Pamungkas yang tidak dipanggil mengikuti turnamen. Indonesia tak terbendung di babak penyisihan. Di semi-final, Indonesia dikalahkan Malaysia 2-1 di Jakarta, tetapi melancarkan balas dendam yang dahsyar di Kuala Lumpur dengan skor 4-1. Namun, sejarah kembali berulang. Euforia publik Indonesia gagal menemui puncak setelah harus menyerah di kaki Singapura di babak puncak.
Withe memperkenalkan formasi 4-4-2 di timnas
Kursi kepelatihan Withe hanya bertahan usai Kejuaraan AFF 2007 setelah gagal lolos dari fase grup meski tampil tak terkalahkan. Pergantian itu sempat dipertanyakan karena Piala Asia yang digelar di Indonesia, selain di Thailand, Malaysia, dan Vietnam, tinggal hitungan waktu. Untuk mengakalinya, PSSI menunjuk pelatih asing yang sudah mengenali karakter sepakbola tanah air, yaitu Kolev.
Kali ini Kolev sudah lebih percaya diri dan kian fasih berbahasa Indonesia. Dibantu persiapan turnamen dengan meliburkan kompetisi beberapa bulan sebelum dimulai, Kolev menyusun kekuatan. Tak banyak yang optimistis, tetapi ketika Indonesia mampu mengalahkan Bahrain 2-1 di laga pembuka, perhatian publik mulai tersita. Meski kemudian gagal melangkah ke babak delapan besar, penampilan Indonesia terbilang memuaskan karena "hanya" kalah tipis dari dua raksasa Asia, Arab Saudi dan Korea Selatan.
Pelatih asing berikutnya yang menangani Indonesia adalah Alfred Riedl pada 2010. Mirip skema saat mendatangkan Withe, PSSI memilih figur pelatih asing yang sudah punya catatan bagus di kawasan Asia Tenggara. Pilihan itu jatuh kepada Riedl yang membuat Vietnam disegani.
Indonesia dilibas Uruguay 7-1 pada laga persiapan AFF Suzuki Cup tahun itu, tetapi Riedl mampu membangun kekuatan tim yang memesona publik. Setelah 2007, gairah kembali muncul. Kali ini dengan skala yang lebih besar. Indonesia tak terbendung dan selalu menang di fase grup serta dua leg semi-final. Di babak puncak, Indonesia bertemu lagi dengan Malaysia yang digilas 5-1 di fase grup.
Tingginya gairah publik rupanya mengurangi fokus tim. Seolah-olah tim sudah juara tanpa perlu memenangi final dan dengan lawan "hanya" Malaysia. Indonesia akhirnya kalah secara mengejutkan di Bukit Jalil dan tak mampu mengatasi defisit agregat di leg kedua. Posisi Riedl masih aman karena tim ditargetkan untuk menembus final, bukan juara. Namun, seiring pergantian kepemimpinan PSSI pada pertengahan 2011, secara mendadak posisi Riedl dicopot dan digantikan Wim Rijsbergen. Itulah keputusan pertama Djohar Arifin Husin sebagai pengganti Nurdin Halid.
Blanco, Latin pertama tapi tak mendapat kesempatan turun bertanding
Posisi Rijsbergen tak bertahan lama. Tak populer di mata media, publik, serta para pemain, Rijsbergen dilengserkan dengan mempasifkannya di posisi direktur teknik. Jabatan pelatih sepanjang sisa kualifikasi Piala Dunia 2014 dipegang Aji Santoso untuk sementara dan kemudian dilanjutkan oleh Nil Maizar hingga AFF Suzuki Cup 2012. Sehari setelah anak asuh Nil tumbang di kaki Irak 1-0 di kualifikasi Piala Asia 2015, Djohar mendadak melakukan pergantian pelatih dengan menunjuk pelatih yang benar-benar asing, Luis Manuel Blanco.
Blanco menjadi pelatih asal Amerika Selatan pertama yang ditunjuk menangani Indonesia, tapi ironisnya tak pernah turun bertanding. Pendekatan dan kualitasnya dipertanyakan, Blanco digantikan PSSI dengan Rahmad Darmawan sebagai caretaker untuk laga kualifikasi Piala Asia melawan Arab Saudi.
Setelahnya, Blanco kembali digeser menjadi pelatih tim U-19. Posisi pelatih tim senior dipercayakan ke tangan Jacksen Tiago, pria Brasil yang sudah berkiprah di sepakbola Indonesia sejak masih bermain di era Ligina pertama, 19 tahun lalu. Penunjukan sudah dilakukan PSSI, tetapi hingga tulisan ini diturunkan masih menunggu kepastian jawaban dari Jacksen.
Menunjuk pelatih asing juga sama seperti memilih kiblat. Untuk soal ini, PSSI seperti telah mengarahkan kiblat ke segala arah, mulai dari mazhab Eropa Barat, Eropa Timur, Inggris, Asia, hingga kini belakangan ke Amerika Latin. Metode kedisiplinan Eropa Timur membuahkan medali emas SEA Games terakhir untuk negeri ini, sedangkan Eropa Barat, khususnya Belanda, kerap menyuguhkan permainan tim yang menyerang dan atraktif. Kini menarik ditunggu bagaimana penerjemahan mazhab Amerika Latin sesuai dengan gaya permainan khas Indonesia.